Tahapan Pembelajaran berbasis inkuiri (Learning Sequence/Level of Inquiry)

Tujuan pembelajaran “berorientasi pada inkuiri” harus mampu membekalkan kemampuan pada siswa untuk melakukan proses investigasi ilmiah yang terdiri atas: mengidentifikasi pertanyaan yang mengarahkan pada suatu penyelidikan ilmiah, merancang dan melakukan penyelidikan ilmiah, menggunakan teknologi dan  matematika untuk memperbaiki penyelidikan, merumuskan dan merevisi penjelasan ilmiah dengan menggunakan logika dan bukti, mengenali dan menganalisis penjelasan dan model alteratif, serta mengomunikasikan dan mengajukan argumen ilmiah.Wenning (2005a, 2010) memperkenalkan Model Tingkat Penyelidikan untuk pengajaran sains dan kemudian menjelaskan urutan pembelajaran terkait.

Tahapan pembelajaran berbasis inkuiri menurut Wenning (2012) secara sistematis terdiri atas:

a. Discovery Learning,  pada tahap ini siswa mengembangkan konsep berdasarkan pengalaman tangan pertama (fokus pada keterlibatan aktif dalam membangun pengetahuan).

b. Interactive Demonstration, pada tahap ini siswa terlibat dalam penjelasan & prediksi – memungkinkan guru untuk mengidentifikasi dan menghadapi konsepsi alternatif  (menangani pengetahuan sebelumnya).

c. Inquiry Lesson,  pada tahap ini siswa mengidentifikasi prinsip dan / atau hubungan ilmiah  (kerja sama yang digunakan untuk membangun pengetahuan yang lebih terperinci).

d. Inquiry Laboratory, pada tahap ini siswa membuat hukum empiris berdasarkan pengukuran  variabel (kerja kolaboratif yang digunakan untuk membangun pengetahuan yang lebih terperinci)

e. Real-world applications, pada tahap ini siswa memecahkan masalah yang berkaitan dengan situasi otentik saat menggunakan pendekatan berbasis masalah dan berbasis proyek.

f. Hypothetical Inquiry, pada tahap ini siswa menghasilkan hipotesis dan menguji hipotesis/ eksplanasi untuk fenomena yang diamati (pengalaman bentuk sains yang lebih realistis).

Untuk memperjelas aktivitas pembelajaran Level of Inquiry diuaraikan sebagai berikut:

1. Discovery Learning 

Fokus pembelajaran penemuan bukanlah untuk menemukan aplikasi untuk pengetahuan, melainkan pada membangun konsep dan pengetahuan berdasarkan  pengalaman belajar peserta didik. Dengan demikian, discovey learning menggunakan refleksi sebagai kunci untuk memahami konsep. Guru memperkenalkan sebuah pengalaman sedemikian rupa  untuk meningkatkan relevansi atau maknanya, menggunakan serangkaian pertanyaan selama atau setelah pengalaman untuk membimbing peserta didik mencapai kesimpulan tertentu, dan memberi pertanyaan kepada peserta didik untuk mendiskusikan langsung yang  berfokus pada masalah atau kontradiksi yang nyata. Dengan menggunakan penalaran induktif, peserta didik membangun hubungan atau prinsip sederhana berdasarkan hasil pengamatan yang dipandu guru.  

2. Interactive Demonstration.

Interactive Demonstration umumnya terdiri dari seorang guru yang memanipulasi (mendemonstrasikan) peralatan dan kemudian mengajukan pertanyaan menyelidik tentang  apa yang akan terjadi (prediksi) atau bagaimana sesuatu yang mungkin terjadi (penjelasan). Guru bertugas melakukan demonstrasi, mengembangkan dan mengajukan pertanyaan menyelidik, memunculkan tanggapan, meminta penjelasan lebih lanjut, dan membantu peserta didik mencapai kesimpulan berdasarkan bukti. Guru akan mendapatkan  permasalahan yang muncul dari peserta didik. Guru memodelkan prosedur ilmiah yang

sesuai pada tingkat yang paling mendasar, sehingga membantu peserta didik belajar secara implisit mengenai proses penyelidikan.  

3. Inquiry Lesson.

Dalam banyak hal, Inquiry Lesson serupa dengan demonstrasi interaktif. Namun, ada beberapa perbedaan penting. Dalam Inquiry Lesson, penekanan secara halus beralih ke  bentuk percobaan ilmiah yang lebih kompleks. Guru masih berperan memberikan panduan, fasilitator, dan menggugah pertanyaan. Bimbingan diberikan secara tidak langsung dengan menggunakan strategi tanya jawab yang tepat. Guru memfasilitasi peserta didik untuk merencanakan percobaan sendiri, mengidentifikasi dan mengendalikan variabel. Guru  secara eksplisit dengan memberikan panduan tentang saintifik proses melalui pertanyaan pembimbing. Guru memodelkan proses intelektual mendasar dan menjelaskan pemahaman mendasar tentang saintifik inkuiri sementara peserta didik belajar dengan mengamati,  mendengarkan, dan menanggapi pertanyaan. Proses pembelajaran pada level ini mengajak peserta didik “berpikir keras” ( think aloud).  Pendekatan ini akan lebih membantu peserta didik memahami proses inkuri. Inquiry Lesson ini penting untuk menjembatani kesenjangan antara Interactive Demonstration dan Inquiry Lab. Hal ini terjadi karena tidak beralasan  untuk mengasumsikan bahwa peserta didik dapat menggunakan pendekatan eksperimental yang lebih canggih sebelum mereka mengenalnya. 

4. Inquiry Labs 

Inquiry Labs adalah kegiatan membimbing peserta didik lebih mandiri dalam mengembangkan dan melaksanakan rencana eksperimen dan mengumpulkan data yang sesuai. Data ini kemudian dianalisis untuk menemukan hukum – hubungan yang tepat antara  variabel. Level Inquiry Lab melibatkan aktivitas peserta didik sebagai berikut: (a) Didorong oleh pertanyaan yang membutuhkan keterlibatan intelektual berkelanjutan dengan menggunakan kemampuan berpikir tingkat tinggi untuk pemikiran independen; (b) Fokuskan kegiatan peserta didik dalam pengumpulan dan data untuk menemukan konsep,  prinsip, atau hukum baru yang bergerak dari konkret menjadi abstrak; (c) Meminta peserta didik untuk membuat desain eksperimental mereka sendiri; mewajibkan peserta didik untuk mengidentifikasi, membedakan, dan mengendalikan variabel-variabel penting dan  dependen; dan mendorong peserta didik memiliki keterampilan dan kemampuan saintifik inkuiri; (d) Biasanya memungkinkan peserta didik belajar dari kesalahan prosedur; memberikan waktu dan kesempatan bagi peserta didik untuk membuat dan memperbaiki kesalahannya; (e) Menggunakan prosedur yang jauh lebih konsisten dengan praktik ilmiah

otentik; 

5. Real-world Applications

Dalam pembelajaran level berikutnya peserta didik menerapkan apa yang telah mereka pelajari melalui pengalaman ke situasi baru. Mereka menemukan jawaban yang berkaitan dengan masalah otentik saat bekerja secara individu atau dalam kelompok kooperatif dan kolaboratif dengan menggunakan pendekatan berbasis masalah & berbasis proyek. Kegiatan ini mengarahkan peserta didik bagaimana sebenarnya para ilmuwan dalam memecahkanmasalah. Dalam pembelajaran berbasis masalah atau berbasis proyek akan berfungsi untuk melatih peserta didik dalam menggunakan konsep, prinsip, dan hukum dalam memecahkan masalah sehari-hari/kontekstual. 

6. Hypothetical Inquiry 

Pada level ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengajukan hipotesis dan pengujian. Hypothetical Inquiry perlu dibedakan dari membuat prediksi, perbedaan yang tidak dipahami banyak guru fisika atau dengan peserta didik mereka. Prediksi adalah pernyataan tentang apa yang akan terjadi mengingat satu set kondisi awal. Contoh prediksi adalah, “Ketika saya dengan cepat meningkatkan volume gas, suhunya akan turun.”  Prediksinya tidak memiliki kekuatan penjelasan apa pun, meskipun mungkin deduksi logis berasal dari hukum atau pengalaman. Hipotesis adalah penjelasan sementara yang dapat diuji secara menyeluruh, dan hal itu dapat mengarahkan penyelidikan lebih lanjut. Contoh hipotesis mungkin karena senter gagal bekerja karena baterainya sudah mati. Untuk menguji  hipotesis ini, seseorang mungkin mengganti baterai yang sudah soak/rusak dengan baterai baru. Jika itu tidak berhasil, hipotesis baru dihasilkan. Hipotesis terakhir ini mungkin berkaitan dengan kontinuitas rangkaian seperti bola lampu yang terbakar atau kabel yang  putus. Hypothetical Inquiry berhubungan dengan memberikan dan menguji penjelasan (biasanya “bagaimana”,  bukan “mengapa”),  untuk menjelaskan hukum atau pengamatan tertentu.

Referensi:

Tim IBL PPPPTK IPA. (2020). Pembelajaran IPA Berbasis Inkuiri

Wenning. C. J. (2005). Levels of inquiry: Hierarchies of pedagogical practices and inquiry processes.

J. Phys. Tchr. Educ. Online, 2 (3); pp 3-12

Wenning. C. J. (2011). The Levels of Inquiry Model of Science Teaching. J. Phys. Tchr. Educ.

Online, 6 (2); pp 9-16

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *