Review Novel “Pulang” Karya Tere Liye
Judul buku : Pulang
Penulis : Tere Liye
Editor : Triana Rahmawati
Penerbit : Republika Penerbit
Tebal buku : iv + 400 hal. ; 13.5 x 20.5 cm
Kota terbit : Jakarta
Tahun terbit : November 2015 cetakan VIII
Pulang kali ini berkisah tentang seorang anak talang di rimba hutan Sumatera, di antara rimbunnya Bukit Barisan, yang dipanggil si Bujang. Sekilas kita mahfum bahwa Bujang hanyalah nama panggilan, seperti nama Entong di Betawi, dan bukan nama yang sebenarnya. Ia dititipkan pada seorang tauke—yang dari sebutannya tentu kita bisa menduga dari suku apa si tauke berasal. Maka dari seorang anak yang tidak memiliki alas kaki, kemudian si Bujang tumbuh menjadi seorang yang cerdas luar biasa dan menyelesaikan gelar dua master sekaligus. Padahal sampai usia 15 tahun ia tak mencecap bangku sekolah sedikit pun. Hanya Mamak, ibunya, yang menjadi gurunya sehari-hari serta mengisahkan banyak hal, termasuk ilmu agama.
Kisah selanjutnya bergulir pada sepak terjang Keluarga Tong dengan pemimpinnya si tauke besar yang secara diam-diam mempunyai pengaruh pada berbagai kegiatan ekonomi di kota provinsi. Tere Liye menjembarkan pada pembacanya perihal istilah shadow economy: kegiatan pencucian uang, sumber-sumber dana yang dipakai dalam bisnis dan perbankan, serta orang-orang kaya yang dipakai sebagai pion dalam menjalankan usaha bagi orang lain. Shadow economy mulanya adalah isu yang mungkin telah kita dengar secara samar-samar. Di dunia inilah, dengan gaya ala mafia dan aksi ala Ocean Eleven, novel ini mengisahkan tukang pukul nomor satu di keluarga Tong: si Bujang alias Babi Hutan. “Bisikkan nama si Babi Hutan di telinga mereka, maka orang-orang akan gemetar ketakutan. Suruh si Babi Hutan bicara, bahkan seorang presiden pun akan diam mendengarkan (hlm. 315).
Sampai akhirnya pengkhianatan dari Rasyid, yang selalu mengklaim sebagai pewaris suku Bedouin, membawa jalan bagi Bujang untuk memahami akar keluarganya, soal sakit hati dan kisah cinta orang tuanya. Maka si Bujang pun pulang, seperti yang dipesankan oleh Mamaknya, “Pergilah anakku, temukan masa depanmu. Sungguh, besok lusa kau akan pulang. Jika tidak ke pangkuan Mamak, kau akan pulang pada hakikat sejati yang ada di dalam dirimu. Pulang. (hlm. 24)”
Meski menjadi tukang pukul, Bujang tidak pernah makan babi atau minum minuman keras atau bahkan menggoda perempuan. Tentu Bujang bukan tukang pukul sembarangan, tapi ia juga penyelesai konflik tingkat tinggi. Ini memang berkaitan dengan pesan Mamaknya, tapi tentu kita tahu maksudnya. Tanpa sedikit pun makanan dan minuman haram yang masuk ke dalam tubuhnya, Bujang akan menemukan jalan pulang sejauh apa pun dia tersesat. Ya, akhirnya ia menyadari arti namanya: Agam, yang berasal dari leluhurnya yang saleh dan pemberani. Juga darah kakeknya yang seorang perewang tetap mengalir dalam tubuhnya.
Dua puluh tahun kemudian, Bujang telah tumbuh menjadi pemuda yang gagah, menjadi jagal dunia hitam, seorang jagal nomor satu. Jenius, kuat, dan tidak mengenal rasa takut. Bujang berhasil menyusul ketertinggalannya dan menyelesaikan sekolah terakhirnya di luar negeri sebagai salah satu lulusan terbaik. Bujang tumbuh menjadi pemuda yang hebat, cerdik dan penuh ide-ide cemerlang. Berpindah dari satu kota ke kota lainnya, dari satu Negara ke Negara lainnya. bertemu orang-orang petinggi sampai calon presiden. Bujang telah hebat, dia diberi julukan si babi hutan. Menjadi bagian dari Keluarga Tong, salah satu keluarga penguasa shadow economy.
Setelah Keluarga Tong telah berkembang pesat, bau pengkhianat mulai tercium. Di sanalah rasa takut Bujang mulai tergoyah. Bujang merasa lalai pada dirinya sendiri. Bahwa pengkhianat itu ternyata berada di sekitar Bujang, menjadi bagian dari keluarga besarnya.